Pegawai Inspektorat Terlibat Penyelewengan Dana Desa Campakasari
Kasus dugaan pemotongan dana Bantuan Langsung Tunai (BLT) terus menimbulkan masalah di tingkat lokal. Hal ini menjadi sorotan penting bagi aktifis dan penggiat sosial dari Jawa Barat yang berkomitmen untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat.
Baru-baru ini terjadi kehebohan terkait pemotongan dana BLT DD yang diduga dilakukan di Desa Campakasari, Kecamatan Bojonggambir, Kabupaten Tasikmalaya.
Kasus pemotongan dana bantuan yang terjadi di Desa ini telah menarik perhatian publik, terutama karena dicurigai dilakukan oleh oknum aparatur pemerintah setempat. Kuat dugaan bahwa Adik Kepala Desa berinisial D atau AJ serta anak atau menantu Kepala Desa dengan inisial OG memfasilitasi tindakan ini dengan alasan-alasan yang tidak masuk akal. Bahkan, ada beberapa Keluarga Penerima Manfaat (KPM) yang menerima bantuan tersebut di jalan. D/AJ juga mengancam masyarakat agar tidak melaporkan kasus ini, dan jika melakukannya, mereka akan dihukum secara adat.
Bahkan menantu Kepala Desa (Kades) mengakui telah memotong dana Bantuan Langsung Tunai Dana Desa (BLT DD). Dia, bersama pamannya, berinisiatif melakukan tindakan ini demi keuntungan pribadi dan keluarganya. Dampaknya, perangkat desa lain merasa tertekan dan terabaikan atas perilaku egois mereka.
Beberapa warga dari kedusunan Cempaka dan Cimuncang di Desa Campakasari, Kecamatan Bojonggambir, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat mengeluhkan masalah yang mereka alami. Seorang warga dari Campakasari menyampaikan ketidakpuasan mereka kepada awak media melalui pesan WhatsApp dan telepon.
Dalam sebuah konfirmasi, seorang warga yang tidak ingin disebutkan namanya mengatakan bahwa terjadi pemotongan bantuan pemerintah BLT pada tahun anggaran 2023. Seharusnya ada 89 KPM yang menerima bantuan tersebut, namun yang benar-benar mendapatkannya hanya 70 KPM. Ironisnya, bahkan para penerima manfaat ini tidak menerima jumlah penuh karena dipotong oleh keluarga salah satu kepala desa. Hal ini telah berulang kali terjadi saat kami menerima BLT. Bahkan ada warga yang menerima bantuan di jalan dari anak atau menantu kepala desa, tidak melalui kantor desa seperti seharusnya dilakukan. Ini sangat aneh!
Setelah diselidiki, diduga terdapat 89 KPM yang tidak menerima BLT dari total 70 KPM yang seharusnya. Dari situ, ada dugaan bahwa ada kepala desa dan keluarganya yang mencuri atau menggelapkan 19 KPM setiap bulannya. Jika BLT dicairkan setiap tiga bulan (per triwulan), maka kerugian negara mencapai Rp17.100.000 per triwulannya atau kurang lebih Rp68.400.000 dalam satu tahun. Apakah ini hanya terjadi selama satu tahun masa kepemimpinannya, atau mungkin sudah berlangsung selama lima tahun? Ini belum lagi dengan pembayaran dana stanting senilai Rp9000.000 untuk tahun 2022-2023 dan biaya pemasangan kwh listrik bagi puluhan orang yang dibayar sebesar 300 hingga 500 ribu rupiah perorang.
Tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme dari Kades dan keluarganya sangat merugikan masyarakat dan negara. Mereka menguasai bantuan pemerintah dan proyek untuk keuntungan mereka sendiri. Keberadaan KKN yang merugikan hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu yang memiliki kekuasaan, sedangkan orang kecil dan jujur menjadi dirugikan. Untuk mencegah hal ini, kita harus segera memerangi praktik KKN di masyarakat, terutama di tingkat desa di seluruh Indonesia.
Pelaku nepotisme dapat menghadapi sanksi pidana sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Seperti yang telah diatur dalam undang-undang tersebut, tindakan nepotisme adalah perbuatan yang sangat dilarang karena dapat merusak kebersihan dan integritas negara.
Dalam Pasal 22, dijelaskan bahwa setiap penyelenggara negara atau individu yang melakukan praktik nepotisme dapat dipidana dengan hukuman penjara minimal 2 tahun dan maksimal 12 tahun serta denda minimal Rp 200 juta dan maksimal Rp 1 miliar.
Selain dapat merugikan negara, tindakan ini juga dianggap sebagai tindak pidana korupsi yang bertentangan dengan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UUD NRI tahun 1945. Dengan tidak memperhatikan makna kata “konspirasi”, tindakan ini tidak dapat diterima secara hukum dan dapat dikategorikan sebagai pemufakatan jahat yang melibatkan dua orang atau lebih yang memiliki kualifikasi yang sama untuk melakukan tindak pidana.
Jangan sampai ada lagi kasus pemalsuan tanda tangan saat pencairan BLT. Pelaku yang melakukan tindakan ini dapat dijerat dengan Undang-Undang Pasal 263 ayat (1) KUHP, yang mengatur tentang pemalsuan tanda tangan dan dokumen. Pelaku dapat dihukum penjara selama 6 tahun. Masyarakat desa Campakasari berharap agar pemerintah desa dan instansi terkait melakukan audit dan investigasi atas dugaan korupsi yang dilakukan oleh Kades dan keluarganya.
Setelah berita pertama diterbitkan pada tanggal 19 Februari 2024, media mencoba mengkonfirmasi dengan seorang pegawai inspektorat kabupaten Tasikmalaya yang telah melakukan audit di desa tersebut. Namun, pegawai tersebut, yang diduga berinisial Hj.P, awalnya merespon baik terhadap salam dan terima kasih atas informasi yang diberikan oleh media. Namun hari berikutnya, ketika media ingin mengkonfirmasi lagi, pegawai tersebut justru memblokir nomor telepon dan pesan singkat dari media.
Ada kejanggalan yang patut diduga melibatkan pegawai inspektorat di sini, karena hingga tahun 2024 pemerintah Desa Cempakasari belum melaporkan atau membuat SPJ DD untuk anggaran tahun 2023. Setiap termin dalam periode satu tahun kalender, pencarian dana desa dan alokasi dana harus sesuai dengan peruntukannya. Namun, sepertinya ada masalah yang harus dihadapi oleh pegawai inspektorat yang terlibat dalam kasus ini.
Ketika berita ini diunggah, oknum pegawai inspektorat masih membatasi akses komunikasi dengan media melalui nomor telepon dan aplikasi pesan. Tindakan ini jelas melanggar UU No 14 tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik bertujuan untuk memastikan bahwa warga negara memiliki hak untuk mengetahui rencana kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik beserta alasan di baliknya. Ini juga mendorong partisipasi masyarakat dalam menciptakan tata kelola yang baik dalam negara.